Jangan Beranjak pergi, Mahasiswaku!

Sunyi di jalanan. Sudah pukul 03.05 dini hari. Tergerak hati menuliskan catatan kecil ini.

Sore tadi, aku menghampiri ujung jalan Pettarani. Beberapa menit sebelumnya, dari kotak hitam di kantor kami, AcSI, Metro TV menyiarkan langsung pembubaran paksa demonstrasi mahasiswa UNM menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Seorang kawan memboncengku menyusuri jalan pendidikan raya tepat di samping gedung megah Menara Phinis UNM berlantai 17.

Jalanan tak lengang. Kebigungan banyak pengendara dari berbagai arah masih terlihat. Mataku perih diterpa sisa gas air mata sepanjang jalan itu. Beberapa mahasiswa masih berdiri di depan pagar kampus mereka. Mungkin bercerita tentang keberutalan polisi-polisi yang membubarkan mereka.
Continue reading

PERAMBAH DAN PELINDUNG HUTAN BUNGENG DAN RAMAE

“Bencana longsor di desa Kompang akibat perambahan hutan dan penebangan liar oleh penduduk sejak tahun 70an!” Kepala dinas kehutanan Sinjai nyaris berteriak saat berdebat dengan Asikin Pella, petani desa Kompang.

“Bukan warga yang merambah hutan, tapi aturan pemerintah yang merambah lahan masyarakat dan menjadikannya hutan!” Asikin membalasnya dengan sengit.

–jejak lisan perambahan hutan–

Kekisruhan politik akhir lima puluhan di Makassar berimplikasi di desa-desa pegunungan di Sulawesi Selatan. Di desa Kombang atau yang lebih kerap diucapkan Kompang, Sinjai Tengah misalnya. Saat itu, bagi pemerintah atau tentara yang didatangkan dari Jawa untuk menumpas gerakan ini, menyebut desa ini desa ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar. Tapi bagi laskar Qahhar sendiri, mereka menyebut diri mereka ‘gurilla’ yang berarti gerilyawan. Mereka berjuang menegakkan Negara Islam.

Usai penumpasan gerakan politik ini pada pertengahan 1960an, segerombolan ‘tentara nakal’ dari batalion 710 memanfaatkan masa transisi di desa Kompang dan sekitarnya. Selain mengganggu ketenangan penduduk dengan mencuri ternak bahkan mengganggu perempuan-perempuan desa, mereka juga masuk hutan. Maklum, sepeninggal laskar DI/TII hutan jadi tak bertuan.
Continue reading

Pesona Latimojong, Segelas Kopi Ulu Salu, dan Bayangan Qahhar Mudzakkar

13117121981969830542

Perjalanan menuju desa Ulu Salu yang terletak di kaki Gunung Latimojong benar-benar melelahkan. Setelah menempuh perjalanan sekira 1 jam dari kota Palopo ke Bajo dengan panther, aku menumpang sebuah motor menuju pasar lama sekira setengah jam.

Di sana sudah menunggu kepala sekolah SMP 1 Ulu Salu yang baru. Ia menawarkan kepadaku tumpangan sampai di desa Kadundung yang berjarak sekira 20 km dari pasar lama ini. Sesampai di sana ia akan mengalihkanku kepada pengendara yang lebih berpengalaman. Perjalanan dengan medan jalan silih berganti kulalui.

Terkadang kami melewati jalan aspal mulus, lalu berbatu, jalan pengerasan, sedikit pendakian, menerobos sisa longsoran bebatuan di bibir jurang hingga akhirnya tiba di desa Kadundung, sejam berikutnya. Di sana kami istirahat sejenak dan menghubungi pengendara yang dimaksud. Rupanya, motor Iping, nama anak muda ini, tidak dalam kondisi prima untuk berboncengan. Iapun memilih mengendarai motor kepala sekolah dan memboncengku dan sebaliknya, kepala sekolah menggunakan motornya.

Perjalanan menuju desa Ulu Salu barulah yang sesungguhnya. Tak ada lagi jalan aspal. Hanya jalan tanah berlumpur dan tanah berkerikil. Seluruhnya adalah pendakian dengan bibir jalan jurang dengan beraneka ketinggian.
Continue reading

Uli Jamlean: Pemberani dari Tanah Evav

Perawakannya kecil. Ia kurus dengan warna kulit cokelat dan rambut panjang keriting. Namanya Uli. Lengkapnya Juliana Jamlean. Sorot matanya ramah. Begitu saya menyimpulkan saat pertama kali melihatnya beberapa bulan lalu di Pakem, Sleman. Di sebuah pendopo kantor Insist. Malam ini, kami bertemu lagi. Tapi kali ini di Ende, Flores. Saya meminta kepadanya untuk suatu wawancara.

Uli adalah ketua organisasi Nen Mas Il. Satu organisasi anggota Jaringan Baileo yang sudah melakukan pengorganisasian rakyat di Maluku lebih 20 tahun. Jaringan Baileo sendiri adalah bagian dari jaringan gerakan sosial Insist. Sebuah jaringan yang memiliki banyak daerah pengorganisasian rakyat di seluruh Indonesia.

Malam ini, kami dipertemukan oleh satu pertemuan yang difasilitasi oleh FIRD (Flores Institute for Resources Development) untuk berbagi pengalaman mengenai Manajemen Kebencanaan Berbasis Komunitas dari 4 kabupaten.
Continue reading

Orang Kota di Tengah Cerita Orang-Orang Desa

Apa yang sebenarnya kulakukan saat ini? Menikmati diri sebagai kelas menengah dengan segala kemewahannya?

Yah, Laptop dengan segala fasilitas audionya telah membuatku nyaman menulis catatan lapangan saat usai menonton Leonardo de Caprio dan Russel Crow dan kini menikmati suara merdu Morrissey.

Hari sudah malam. Di sudut kanan bawah laptop Toshiba menunjukkan pukul 2:52 AM dan tanggal 14/3/2011. Di rumah panggung ini dua orang petani tertidur setelah (mungkin) lelah menemaniku mengobrol untuk urusan proyek dari Helsinki bernama Sustainable Livelihood in Rural Sulawesi  yang sudah berjalan sekira dua tahun ini. Hawa dingin—melebih kenyaman AC di rumahku yang kubeli tiga tahun lalu dari sedikit hasil dari beasiswa Ford Foundation yang kuterima—membuat suasana malam ini jadi lebih asri.

Lalu apa yang sebenarnya sedang kulakukan saat ini?

Dua petani ini memilih tak pulang ke rumahnya masing-masing dan menemaniku di rumah panggung yang sengaja dibeli untuk sekretariat mereka yang mau berkelompok dan belajar bersama sekaitan dengan proyek ini.

Ah, bukankah aku demikian juga. Aku rela beranjak jauh dari rumah dimana dua anakku yang masih belia dan istriku yang tabah melepasku selalu melewatkan banyak jam setiap harinya tanpaku.

Tapi bukankah aku seorang kelas menengah yang sebenarnya hidup nyaman?

Yah, aku jebolan Institute of Social Studies di Den Haag yang lumayan dikenal luas sebagai universitas terbaik untuk urusan studi pembangunan. Bukankah kini aku menyandang gelar Master of Arts di mana hanya segelintir saja sarjana di Indonesia ini memilikinya?
Continue reading

Duka Nestapa Pengungsi Timor

Bibirnya berwarna merah. Bila ia meludah maka cairannya juga berwarna merah. Sekejap liur itu lebur dalam resapan tanah kehitaman penuh debu karbon. Rambutnya, seluruhnya berwarna putih. Putih seperti segumpal awan yang bergerak tepat di atas tubuhnya yang ringkih.  Kudung yang menutupi sebagian rambutnyapun seputih awan, namun pucat dilumuri noda hitam dari ratusan usapan jemarinya yang penuh serbuk karbon dari bebatuan mangan di seluruh hari selama ia di tempat ini.

Ia terus mengais bebatuan ini bersama tiga cucunya yang usianya tentu terpaut 60 tahun dari usianya. Memilih kerikil mangan dan mengumpulnya satu demi satu hingga memenuhi embernya. Cucunya lalu akan memasukkan kerikil ke dalam sebuah karung hingga menjadi seberat lima puluh kilogram. Satu meter di depannya, sebuah lubang yang menganga sedalam tiga meter telah tergali oleh seorang pria paruh baya dan dua nyong tanggung berbadan tegap lagi hitam legam warna tubuhnya.

Mangan yang melekat dalam tanah semakin jelas terlihat. Orang-orang ini sudah membayangkan berkilo-kilo batu mangan akan dikumpulkan hingga satu hari ini. Satu persatu sesekop tanah berbatu dilemparkan ke atas tepat di samping nenek dan adik-adik ini. Itulah yang kemudian mereka kais, pilah, dan pilih. Yang tua dan yang masih balita hanya mampu mengais dan memunguti kerikil mangan dan yang kuat memilih, menggali, dan mencongkel mangan di lima lubang yang telah mereka gali sekira satu bulan ini.

Nenek itu, Martina berusia 67 tahun, tiba-tiba tertawa mendengar celoteh seorang cucunya dalam bahasa Tetum yang juga sedang mengais kerikil disampingnya. Dari dalam mulutnya, dua warna itu mencuat, merah dan putih. Sirih, pinang, dan kapur sirih yang dikunyahnya mewujud merah dan di sebagian gigi yang masih tersisa memberi putih, serupa warna bendera dari negara yang sepuluh tahun lalu dipilihnya sebagai tempat untuk tinggal. Ia lalu seperti sedang mengunyah Indonesia.
Continue reading

Semangat Pelayanan di Padang Savana (Pulau Sumba)

Jalan aspal berkelok-kelok membelah hamparan savana seluas lautan. Hanya satu dua mobil melintas menderu meninggalkan debu yang dihempaskannya ke angkasa nan biru. Begitu pula sesekali melintas angkutan antar desa berupa truk yang dilengkapi sejumlah kursi panjang menyerupai bis. Tentu saja ia tak memiliki jendela serupa bis umumnya. Si pengemudi hanya menambahkan tenda dan kursi itu, selebihnya ia adalah truk beroda enam. Muatannya penuh dan beberapa berdiri di bagian belakang truk itu.

Di sebuah rumah alang, sebuah keluarga kecil berkumpul di teras rumah panggung setinggi satu meter. Kecuali anak-anak mereka, selebihnya sedang mengunyah sirih dan pinang. Mulut mereka merah dan terus mengunyah sampai terasa manis. Satu dua kali mereka meludah ke tanah di mana si Bujang, anjing mereka berwarna cokelat, sedang tidur meringkuk nyaman. Di sebelahnya, seekor anak babi terlihat lucu mengendus tanah mencari makan. Beberapa ekor ayam kampung mengganggunya dan ia lari mengibas-ngibaskan ekor kecilnya menuju ke induknya yang berwarna hitam dan gemuk.

Bis truk itu menjauh dan mereka tak lagi memandanginya.

Ini adalah desa Laindeha, kecamatan Pandawai, kabupaten Sumba Timur. Sebuah desa dengan hamparan savana sejauh mata memandang. Mereka memelihara ternak besar dan kecil seperti kuda, kerbau, sapi, kambing, babi dan ayam. Kuda-kuda hanya dilepas bebas di padang ini dan sesekali dicek keberadaannya. Bila beruntung bisa melihat sekawanan kuda ini dari kelokan jalan, maka indah sekali pemandangan desa ini.
Continue reading

Redup Hidup Juki Cilik Sumbawa

Eko dengan cekatan memandikan kudanya. Membasahi badan Sinar Mas perlahan-lahan. Sesekali ia mengusap kepala dan menatap matanya dengan tatapan yang tenang. Sinar Mas tak banyak bergerak hingga Eko dengan mudah membersihkan tubuh kuda berwarna cokelat itu.

Menurut Hendra, ayah angkat Eko, Sinar Mas adalah kuda potensial setahun dua tahun ke depan. Ia memiliki tanda-tanda sebagai kuda pacu terbaik. Beberapa di antaranya adalah daging pahanya yang lunak. Ia juga memiliki pusar kuda tepat di tengah leher yang hanya dimiliki oleh kuda-kuda pacu terbaik. Bagi pecinta daging kuda, raja ono juga adalah tanda potong bila hendak disembelih. Sinar Mas juga memiliki unyang jaran atau mahkota kuda yang menandakannya keras hati. Ada pula timbang mas atau ‘sayap kuda’ sebagai tanda keseimbangan kuda sewaktu berlari. Sinar Mas juga memiliki ‘pusar mulut’ yang menandakan kuda ini ‘baik hati’ dan dalam berpacu kemungkinan menabrak pagar nyaris tidak akan terjadi.

Sebelumnya, antara 2005 – 2010, Eko menunggangi ‘Jauh di Mata’. Kuda peliharaan Hendra yang cekatan ini selalu meraih juara di setiap kelas yang dilewatinya. Dengan Jauh di Mata inilah, Eko menjuarai banyak lomba main jaran dan memperoleh banyak uang dan hadiah. Pada saat ia menjuarai sebuah turnamen dan memperoleh hadiah seekor kambing, keluarga Hendra bisa melaksanakan hajatan saat tiba waktunya Eko, sebagai Muslim, disunat. Bukan itu saja, dengan uang yang diperolehnya, Eko tidak hanya mampu memenuhi sendiri kebutuhan sehari-harinya, namun juga membantu mengurangi beban ekonomi keluarga. Ia dapat membeli lemari pakaian untuk adik-adiknya, membeli meja belajar, dan banyak keperluan sekolah setiap tahunnya.

Tentu saja Eko amat menikmati profesinya sejak dini. Ia begitu mencintai kuda. Ia hidup dalam lingkungan di mana kuda adalah bagian dari struktur kebudayaan di kampungnya. Kakek dari kakeknya sejak dulu adalah seorang Sandro jaran. Kawan-kawan kecilnya adalah juki dan orang-orang dewasa menikmati menonton main jaran dengan ataupun tanpa judi. Kini, sejak lima tahun berprofesi sebagai juki cilik, ia tak lagi mengikuti turnamen bergengsi di Sumbawa. Ia hanya datang pada saat sesi latihan di mana banyak pemilik kuda menggunakan jasanya untuk menunggangi kuda mereka. Bilapun turnamen tiba, pemilik kuda Jauh di Mata masih menggunakan dirinya untuk berpacu dalam sesi awal yang belum menggunakan sistem gugur. Usianya sudah mendekati tahun keduabelas dan ia akan terus tumbuh. Dalam keadaan demikian, kuda-kuda Sumbawa yang lebih kecil dibandingkan dengan kuda Sumba—yang postur tubuhnya tinggi dan besar—tentu tak akan mampu menahan beban juki dalam setiap putaran. Lagi pula, telah hadir juki-juki baru yang juga cekatan dan lebih ringan berat tubuhnya.

Menenangkan kuda (foto Idealita Ismanto)

Continue reading

Nyong So’e di Persimpangan Batu Putih [Nusa Tenggara]

SUARA KENDARAAN menderu dari Utara.Puluhan anak belasan tahun bersiap berdiri menajamkan pendengaran mereka. Berusaha memastikan ini suara bis atau truk. Keranjang plastik beraneka warna cerah segi empat berisi keripik pisang dan keripik ubi, telur rebus, kacang goreng pun mulai diusung di atas telapak tangan kanan atau kiri mereka.

Seluruhnya serentak bangkit begitu diyakini suara tersebut benar-benar sebuah bis. Dua orang di antaranya sudah berlari ke tengah jalan, bersiap mengejar bis ini dari sisi kiri. Yang lain mulai sprint dari sisi kanan begitu moncong bis benar-benar datang meluncur dari kelokan dengan sisa kecepatan berkisar 70 Km/jam yang akan berhenti sekitar 20 atau 40 meter ke depan. Bagai kawanan singa menyerbu seekor zebra di gurun Afrika sana, anak-anak remaja ini berlari sekencang-kencangnya mengejar pantat bis yang nyaris berhenti beberapa meter lagi.

Continue reading