“Bencana longsor di desa Kompang akibat perambahan hutan dan penebangan liar oleh penduduk sejak tahun 70an!” Kepala dinas kehutanan Sinjai nyaris berteriak saat berdebat dengan Asikin Pella, petani desa Kompang.
“Bukan warga yang merambah hutan, tapi aturan pemerintah yang merambah lahan masyarakat dan menjadikannya hutan!” Asikin membalasnya dengan sengit.
–jejak lisan perambahan hutan–
Kekisruhan politik akhir lima puluhan di Makassar berimplikasi di desa-desa pegunungan di Sulawesi Selatan. Di desa Kombang atau yang lebih kerap diucapkan Kompang, Sinjai Tengah misalnya. Saat itu, bagi pemerintah atau tentara yang didatangkan dari Jawa untuk menumpas gerakan ini, menyebut desa ini desa ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar. Tapi bagi laskar Qahhar sendiri, mereka menyebut diri mereka ‘gurilla’ yang berarti gerilyawan. Mereka berjuang menegakkan Negara Islam.
Usai penumpasan gerakan politik ini pada pertengahan 1960an, segerombolan ‘tentara nakal’ dari batalion 710 memanfaatkan masa transisi di desa Kompang dan sekitarnya. Selain mengganggu ketenangan penduduk dengan mencuri ternak bahkan mengganggu perempuan-perempuan desa, mereka juga masuk hutan. Maklum, sepeninggal laskar DI/TII hutan jadi tak bertuan.
Continue reading