MENIUPKAN SPIRIT LARVUL NGABAL ORANG KAI DALAM KONSEP PENGURANGAN RESIKO BENCANA

Sesunguhnya, kabupaten ini terletak di bagian selatan Maluku. Namun pendiri kabupaten ini lebih memilih nama Kabupaten Maluku Tenggara ketimbang Maluku Selatan. Pemilihan nama ini jelas pertimbangan politik. Maluku Selatan akan membawa kenangan orang akan peristiwa separatis di awal berdirinya Republik ini, yakni Republik Maluku Selatan atau lebih dikenal dengan akronim RMS yang diproklamasikan pada 25 April 1950.

Usia RMS tak lama. Hanya berkisar satu tahun. Setahun berikutnya, 1952, Kabupaten Maluku Tenggara berdiri. Sejak itu, bertahan menjadi bagian resmi wilayah Republik Indonesia. Memasuki era reformasi, pada 2003 pemekaran daerah terjadi. Hingga kini sudah lima kecamatan menjadi kabupaten. Tual, ibukota Maluku Tenggara dimekarkan menjadi dua daerah, Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara sejak 2011 adalah Langgur.

Pemilahan administrasi ini berdampak pada adat Kei. Kepala adat adalah raja di Kei dan setiap raja punya wilayah kekuasaan yang berbeda satu dengan yang lain. Ada 15 raja di Maluku Tenggara. 4 raja berada di kota Tual dan 11 raja di kabupaten Maluku Tenggara. Raja Tual tinggal di kotamadya, namun dia punya wilayah sebagian kampung itu di kota Langgur. Demikian sebaliknya, Raja Tet Oar, di Langgur punya wilayah sebagian di kotamadya Tual. Ini belum mengurusi wilayah petuanan yang pembagiannya serupa wilayah kerajaan.

Secara struktur, Raja membawahi kepala ohoi (kepala desa) atau kepala Orong Kai. Kepala Orong Kai membawahi Kepala Soa (kepala dusun) dan Kepala Soa membawahi saniri (kepala marga). Selain itu, raja juga memiliki perangkat kerja lain seperti Kapitan yang berfungsi menjaga keamanan dan mengurusi situasi dalam negeri. Masih berdasar budaya setempat, 15 raja ini rupanya memiliki blok yang berbeda satu sama lain. Dua blok utama adalah blok Patasiwa dan blok Patalima. Raja-raja yang tak tergabung di kedua blok ini memiliki blok tersendiri, katakanlah Non-blok. Non blok ini bisa berfungsi sebagai penengah konflik sosial (jika terjadi) dari dua blok utama.

Namun, dalam keragaman raja ini mereka hanya menjunjung satu hukum lokal, yakni Larvul Ngabal yang terdiri dari tujuh pasal saja. Bagi orang Kei, hukum adat mereka adalah hukum yang adil. Begitu adilnya, hukum ini berada di atas hukum formal. Inilah ‘pusaka’ utama Orang Kei. Pengatur sosial sehari-hari di sana. Salah satu bukti ampuh dari pusaka ini adalah saat orang-orang Kei mampu meredam konflik sosial Ambon di Kepulauan Kei.

Hukum adat Kei mampu mengurangi resiko bencana sosial di Maluku Tenggara.

*

 Wilayah Maluku Tenggara berada di atas ring of fire sehingga kerap terjadi gempa bumi dan tsunami. Belum lagi angin puting beliung dan longsor di wilayah perbukitan. Warga yang utamanya adalah nelayan pada musim-musim tertentu menghadapi bencana transportasi laut. Ada saja korban jatuh setiap tahunnya. Belum lagi perkembangan kota Tual yang semakin ramai mulai menyimpan khawatir dengan merebaknya virus HIV dimana sejauh ini sudah terlapor 30 kasus.

Menurut Fritz Elmas—kepala Ohoi Ebo dan pengorganisir Nen Mas Il, beberapa tahun belakangan ini mulai terjadi perubahan musim yang tidak biasa. Banyak nelayan yang fasih membaca gejala alam kini tak mampu berhitung secara akurat. Akibatnya, mayoritas nelayan Kei yang mengandalkan perahu kecil dengan mesin tempel berkapasitas 40 PK memilih tak melaut bila ragu dalam menilai arah cuaca atau pergerakan musim.

Berdasarkan penilaian resiko becana yang dilakukan oleh Nen Mas Il, pasang tinggi dikisaran 1 meter terjadi setiap bulan. Pasang tertinggi pernah mencapai 5 meter sampai menggenangi pemukiman penduduk. Genangan air laut membuat pasokan air bersih tercemari. Jika berlangsung cukup lama warga mengalami krisis air. Saat seperti inilah warga menjadi rentan terkena penyakit. Muntaber, malaria, ISPA dan dermatitis adalah langganan sakit yang diderita warga, khususnya orang tua dan anak-anak.

Dampak lain menyentuh komoditas pertanian. Produktifitas kacang-kacangan dan umbi-umbian menurun drastis. Hal ini mendorong sebagian warga beralih profesi ke laut. Menjadi petani rumput laut adalah satu jalan keluar mengatasi perubahan alam ini. Tapi, ini seolah sekedar mengalihkan kesibukan dari pekerjaan satu ke pekerjaan lainnya yang justru berefek buruk bagi warga. Siswandi, peneliti kebencanaan dari AcSI—member of ININNAWA, menemukan efek lain peralihan komoditas ini.

Sekilas, orang Kei mudah memperoleh uang dari rumput laut. Pada 2008 harga rumput laut pernah mencapai Rp. 18.000 perkilo selama dua pekan. Harga yang baik itu membuat mereka berbondong-bondong ke laut meninggalkan darat. Hasilnya, mereka dapat menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, baik  di  Makassar, Manado atau Jogjakarta. Tapi di sisi lain, antara Mei – Juni 2011, harga Enbal—makanan pokok orang Kei, naik drastis dari Rp. 20.000 perbungkus menjadi  Rp. 50.000 perbungkus selama dua bulan. Naiknya harga itu karena Enbal mulai terbilang langka. Inilah dampak saat orang berbondong-bondong mengurusi rumput laut.

Masih menurut Siswandi. Di desa Wab, enbal tak lagi bisa dihidangkan untuk tamu, melainkan untuk keluarga pemilik rumah. Bukan itu saja, karena laut sudah terkapling-kapling berdasar kepemilikan rumput laut, banyak pemancing jadi malu hati memancing di mana terdapat lahan rumput laut milik orang lain. Dan satu hal yang juga sudah terlihat, papalele—penjaja ikan yang dulu membeli ikan di desa Wab, sekarang menjual ikan Momar dan ikan-ikan kecil di Wab. Nelayan awalnya produsen kini menjadi konsumen.

Selain itu, orang Kei merasa cuaca tak seperti dulu lagi. Pada Oktober – November, perubahan cuaca tidak menentu, hujan dan panas saling bergantian menimbulkan hama bagi rumput laut. Tahun 2011 tingkat kerusakan lebih parah. Saat tali (long line) diangkat, satu pohon rumput laut yang terkena penyakit langsung jatuh ke dalam laut. Sehingga panen dilakukan lebih awal (antara umur 20 – 30 hari) dengan kualitas rendah.

Rupanya bencana alam dan non alam sedang mengintai orang-orang Kei.

*

Yayasan Nen Mas Il mengusung tanggung jawab sosial

Yayasan Nen Mas Il berdiri pada tahun 1991. Telah mengecap asam garam pengorganisasian warga. Orang-orangnya sudah keluar masuk desa di Kepulauan Kei ini. Bahkan beberapa dari mereka menjadi menjadi kepala desa dan anggota parlemen. Menyadari ancaman perubahan iklim yang akan mempengaruhi pulau-pulau kecil ini, mengundang Nen Mas Il turut mengambil peran. Mereka mengorganisir rakyat untuk membangun sistem kesiapsiagaan bencana.

Mereka berjibaku di empat desa di dua kecamatan. Desa Warbal dan Tanimbar Kei di Kecamatan Kei Kecil Barat dan Desa Evu dan Desa Warwut di Kecamatan Kei Kecil. Secara geografis, keempat desa ini berada di dua pulau kecil dipersimpangan Laut Banda dan Laut Arafura. Untuk mencapainya, membutuhkan waktu 2 – 3 jam (kondisi normal) dengan perahu bertenaga mesin 40 PK. Luas kedua pulau berkisar 500 km2 dengan ketinggian 1,5 – 5 meter.

Fokus aktifitas DRR Nen Mas Il adalah membangun kesadaran berpikir bagi keluarga-keluarga nelayan, terlebih khusus murid-murid dan guru-guru di 5 sekolah tingkat pendidikan dasar. Mereka melakukan banyak diskusi-diskusi kecil dengan warga. Melakukan beberapa penelitian baik dengan metode survei, studi dokumen pemerintah, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus. Hasil dari serangkaian diskusi menjadi pengetahuan dasar warga dan pemerintah akan ancaman bencana, kerentanan, dan kapasitas desa-desa itu dalam menangani bencana di keseluruhan siklus kebencanaan (pra, saat, dan paska bencana).

Bagi Fritz, koordinator program DRR Nen Mas Il, menyatakan bahwa, “untuk melakukan pengorganisasian tak peduli itu siapa, yang penting adalah bagaimana mendengar pikiran orang, dari setiap pikiran orang itu kita bisa tahu siapa berpihak pada siapa dan sepaham dengan siapa. Nah orang-orang yang tepat, yang paham tujuan kita, mereka itulah yang kami rekrut untuk terus menerus hadir dalam pertemuan.”

Dari sekian kali pertemuan merekapun mendirikan forum kebencanaan desa. Mereka yakin bahwa bencana adalah masalah semua warga, sebanyak mungkin pihak mesti melibatkan diri.

Di level kecamatan muncul kesadaran yang sama. Camat Kei Kecil, G Rumheng memaparkan bahwa ada delapan desa dan dua dusun yang posisinya rawan bencana. Iapun menawarkan membangun forum serupa di kecamatannya. Sebagai camat ia lalu menfasilitasi proses pembentukannya.

Dalam suatu diskusi, forum kebencanaan (Forum DRR) desa Ewu dan Warwut membuat rencana aksi. Mulai mengkonsumsi makanan lokal seperti sebelumnya. Dalam kondisi musim yang tak menentu, ketergantungan akan beras bisa berbuah bencana. Pasokan beras dari luar bisa terhambat oleh bencana transportasi laut. Demikian salah satu target mereka.

Target lain adalah menjaga bakau dengan tidak menebangnya. Sejak petani rumput laut memproduksi komoditas ekspor ini secara massal, kebutuhan patahan kayu bakau sebagai patok untuk budidaya rumput laut semakin besar. Tawarannya mereka akan membuat sistem pemberat dan pelampung berbahan baku bukan kayu bakau.

Di sekolah, Nen Mas Il hadir dengan target yang berbeda. Kurikulum kebencanaan yang kemudian menjadi mata pelajaran tersendiri menjadi cara efektif menularkan pikiran mencintai alam kepada siswa. Hasil diskusi antara Nen Mas Il dengan Kepala Bidang Pendidikan Dasar mengidentifikasi 5 sekolah yang perlu menjadi pelopor penyusunan kurikulum dan menerapkan kurikulum itu di sekolah mereka. Sekolah tersebut adalah SDN Ohoibadar, SDN Wab, SD Kristen Ohoira, SD Naskat Evu, SMPN 7 Kei Kecil dan SMP Kristen Ohoira. Dinas Pendidikan merencanakan untuk mengadakan pertemuan yang melibatkan semua sekolah tersebut untuk diskusi lebih lanjut mengenai implementasi DRR di sekolah.

Untuk mendukung kinerja Nen Mas Il dan jaringannya, terdapat dua radio lokal, satu tivi lokal, dan empat media cetak yang siap menyebarluaskan informasi hal-hal yang dikerjakan selama ini sekaitan dengan tata kelola kebencanaan. Kalangan kampus turut mendukung gerakan ini. Ada dua perguruan tinggi negeri—seperti Polteknik Negeri Langgur, enam perguruan tinggi swasta –seperti STIA Langgur. Dalam kerjasama ini, baik Nen Mas Il ataupun BPBD dapat terlibat dalam pembekalan mahasiswa menjelang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa ini menjadi ‘duta dari kampung’ yang mengkampanyekan pentingnya menjaga lingkungan selain berfungsi sebagai kelompok penekan melalui aksi perlemen jalanan, demonstrasi.

Nen Mas Il menjadi Lokomotif gerakan sosial untuk pengurangan resiko bencana di tual

*

BPBD Maluku Tengara yang terbata-bata mengelola resiko bencana

Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Maluku Tenggara adalah lembaga krusial dalam sistem penggulangan bencana yang dibangun pemerintah daerah. Lembaga ini dapat menjadi sentra penanggulangan resiko bencana bersama elemen warga. Namun lembaga ini masih tertatih-tatih memenuhi perannya yang strategis dengan cakupan kerja yang luas. Satu hal yang mendasar adalah payung hukum daerah—peraturan daerah—belum ada. BPBD Maluku Tenggara baru mengantongi Peraturan Bupati nomor 34/2009 yang pelaksanaannya baru 1 Nopember 2011.

“Rancangannya sudah dibahas.” Kata seorang anggota dewan Maluku Tenggara.

“Namun ada amanah dalam tata tertib DPRD untuk mengkonsultasikan setiap Rancangan Perda di provinsi. Gubernur akan menilai rancangan kami dalam hal hirarki perundang-undangan. Sampai sekarang hasil evaluasi belum ada, sehingga kita belum bisa tetapkan.” Demikian  Minggus wakil ketua Komisi B menyampaikan.

“Sebenarnya bila sudah ada hasil evaluasi dari pemprov, maka kami tinggal ketuk palu.” Tandasnya.

Antonius Wataratan, S.Sos, anggota DPRD dari Partai Matahari Bangsa, menduga penyebab lambannya gubernur memberi penilaian ranperda BPBD karena isu Penanganan Resiko Bencana belum seksi untuk dilirik sebagai sesuatu yang mendesak. Untuk itu, bagi anggota dewan ini, upaya membangun opini publik terus menerus secara komprehensif akan pentingnya PRB akan mendesak pemerintah daerah merespon cepat dan memberi dukungan penuh setiap upaya penanggulangan resiko bencana.

Nobertus Savstubun, Kepala Bidang Pencegahan dan Tanggap Darurat BPBD Maluku Tenggara menyatakan, “bagi sebagian mereka [birokrat], BPBD masih dipandang sekedar badan penanggulangan bencana alam, padahal bencana dalam hal ini lebih dari sekedar bencana alam. Bencana memiliki belasan kategori, baik bencana karena alam maupun non alam ataupun faktor sosial”.

Lemahnya payung hukum BPBD membuat anggaran programnya masih terbatas. Saat Badan ini mengajukan dana 50 miliar untuk penanganan bencana, pihak pemerintah pusat langsung menanyakan dasar pendiriannya. Mengetahui dasarnya baru sebatas peraturan bupati, maka hanya sekisar 8 miliar dana penanganan bencana diserahkan. Berdasarkan aturan

Dana sebesar itu kemudian digunakan untuk membiayai perbaikan 90 rumah rakyat dimana masing-masing rumah memperoleh 5 juta rupiah. Perbaikan sebuah balai desa senilai 25 juta rupiah. Juga pembangunan beberapa talut untuk pengamanan pantai. Sejumlah anggaran itu masih jauh memadai. Setidaknya memenuhi prasyarat sebagai badan pemerintah yang kapabel dalam mengurusi bencana sudah membutuhkan energi dan dana yang besar. Belum lagi, selain memperbaiki infrastrukrtur sosial membangun kapasitas manusia Kei adalah urusan yang juga maha penting.

BPBD di antara dua jalan: peluang menata ruang atau peluang mendapat uang?

*

Dua Sejoli: Pemerintah dan DPRD Kabupaten Tual Mengawal upaya Pengurangan Resiko Bencana

Komposisi anggota Parlemen DPRD Maluku Tenggara bercorak pelangi. Kursi nyaris terbagi rata untuk 17 Partai Politik. Jumlah kursi setiap partai hanya 1 – 2 buah saja. konsekuensinya, tak ada satupun partai politik dapat membentuk satu fraksi. Aturannya minimal 3 kursi untuk satu partai politik membentuk fraksi. Jadi hanya dua fraksi yang ada, fraksi Karya Kedaulatan Bangsa dan Fraksi Suara Rakyat. Polarisasi semacam ini rupanya membuahkan kekompakan.

“Sebelumnya beberapa pengamat politik berpikir bahwa ini akan dipenuhi konflik kepentingan karena ‘pelangi’. Namun kenyataannya terjadi sebaliknya. Karena kami tidak ada yang dominan jadinya kita tidak memaksakan kehendak dan lebih mementingkan kepentingan publik dalam mengambil keputusan. Makanya dalam setiap penyusunan kebijakan kami dari DPRD sangat mudah membangun kesepakatan.“

Demikian Antonius Wataratan menyimpulkan DPRD pelangi ini.

Beberapa pengorganisir atau sukarelawan Nen Mas Il yang memutuskan berjuang di pintu legislatif rupanya berhasil menjadi anggota dewan. Ini kemenangan bagi Organisasi Gerakan Sosial di Tual walaupun disatu sisi bisa jadi ancaman bagi ranah basis yang kehilangan fasilitator. Dalam kaitannya dengan upaya pengurangan resiko bencana (DRR) posisi ini jelas membantu Nen Mas Il dan BPBD Maluku Tenggara, khususnya dukungan kebijakan.

Kedatangan 3 anggota Dewan dalam pertemuan di Ende—Linking and Learning Building Social Movement  for Disaster Risk Reduction (BSM DRR), 19 – 21 Oktober 2011 adalah upaya mereka mencari dan berbagi pengalaman dari 4 kabupaten lain yang turut serta dalam pertemuan. Salah satu yang mereka buru adalah Perda Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Kabupaten Ende yang sudah disahkan.

“Perda PRB Ende jadi alasan keluarnya izin dari pimpinan dewan.” Demikian kata Alex Welerubun S Ketua DPRD Maluku Tenggara. Sebenarnya pada saat itu sulit bagi anggota dewan keluar Tual. Ada tiga agenda penting yang sedang dibahas, pertanggungjawaban APBD, APBD Perubahan, dan APBD Induk 2011. Namun karena pihak DPRD juga sedang mengembangkan hak inisiatif penyusunan rancangan perda maka pertemuan Ende dianggap sama pentingnya.

Sejauh ini, penanganan kebencanaan oleh pemerintah daerah Maluku Tenggara masih jauh dari memadai. Dari sisi Regulasi, selain masih lemahnya aturan BPBD, badan ini belum memiliki Rencana Aksi Daerah yang meliputi Renstra, RPJM daerah yang sensitif PRB, Rencana Penanggulangan Bencana Daerah, dan Contigency Plan (rencana darurat).

Dari segi kelembagaan baru BPBD dam SAR Daerah terbentuk. Beberapa elemen penting seperti Dewan Pengarah, Pusat Pengendalian dan Operasi Penanggulangan, serta Tim Reaksi Cepat Daerah (TRCD) belum terpikirkan sama sekali. Satuan tugas (Satgas) di level kecamatan dan desa yang menopang kinerja BPBD di lapangan juga belum terbentuk.

Sumberdaya Badan juga perlu memperoleh perhatian yang serius. Jika bencana benar-benar terjadi di satu pulau di Kepulauan Kei, maka badan ini akan kesulitan melakukan evakuasi korban karena tiadanya alat-alat evakuasi. Belum lagi titik-titik evakuasi yang belum ditentukan di setiap tempat yang dianggap rawan bencana. Demikian pula berturut-turut kebutuhan Gudang logistik, Early Warning System, Emergency Kits Stock, peralatan komunikasi, kendaraan penyelamatan, dan mobile unit utility baru sekedar serentetan daftar kewajiban yang mesti tersedia.

Jangan lagi bicara pangkalan data kebencanaan daerah ini. Pemda belum memiliki rencana penelitian khususnya penelitian berseri (time series) tentang pemetaan rawan bencana serta staf ahli yang bisa menjalankan keseluruhan proses penelitian ini.

Selain itu, hal yang juga penting untuk mengakomodir pihak-pihak terkait lainnya turut bersama dalam gerakan sosial untuk pengurangan resiko bencana di Maluku Tenggara adalah pembentukan Forum Pengurangan Resiko Bencana di level kabupaten.

Memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atas tentu pekerjaan strategis. Mencapainya membutuhkan waktu dan segenap energi dari banyak pihak. Untuk itu fokus didepan mata adalah hal yang paling masuk akal untuk bisa ditempuh. Dalam pertemuan di Ende, tim Maluku Tenggara yang hadir (Nen Mas Il, BPBD, Anggota Dewan) mendorong hal-hal berikut: (1) percepatan penyelesaian PERDA tentang pembentukan BPDB Maluku Tenggara (Badan Legislasi DPRD) yang saat ini draf Perda sedang dikonsultasikan ke Pemerintah Propinsi. (2) Mendesak Badan Legislasi DPRD Kabupaten Maluku Tenggara untuk mengagendakan Rancangan Peraturan Daerah tentang PRB sebagai prioritas utama dalam Prolegda tahun 2012 dengan menggunakan Hak Inisiatif.

Sementara satu hal yang sama mendesaknya adalah pembentukan Forum PRB dengan pembagian tugas sesuai kapasitas masing-masing. Pihak legislatif daerah akan membangun pemahaman yang komperhensif tentang PRB dengan melibatkan pers, Organisasi Non Pemerintah, Akademisi, Kelompok masyarakat, Pemerintah, dan Parlemen. Lalu, Nen Mas Il akan melaksanakan Worshop kerangka PRB untuk Forum. Sementara BPBD menginisiasi terbentuknya forum-forum di level desa, kecamatan, dan kabupaten.

Dari sekian pekerjaan yang belum diselesaikan itu, maka baiknya komunikasi organisasi kedua lembaga negara ini bisa menjadi energi besar meretas persoalan dan menyelesaikan satu persatu. Setidaknya, hubungan pemerintah dan parlemen Maluku Tenggara akan memperkuat pernyataan Roem Topatimasang yang mengutip Cicero tentang bagaimana seharusnya sebuah sistem politik bekerja.

“…diktum dasarnya itu Cicero yang bilang. Solus populis, prema lexis. Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Kalau orientasi politik atau sistem politik masih ebut terus tentang kekuasaan dan sebagainya, bukan keselamatan rakyat, dia kehilangan makna. Menanggulangi kebencanaan itu sebenarnya menciptakan suatu sistem keselamatan.”

Pengalaman upaya mengurangi resiko bencana di Maluku Tenggara sejauh ini bergerak kearah sistem politik yang dimaksud Roem Topatimasang. Bila elemen lokal, seperti falsafah hidup Orang Kei larvul ngabal itu terus-menerus bersandingan dengan konsep-konsep universal Pengurangan Resiko Bencana atau DRR maka keselamatan banyak orang dapat terjaga[].

One thought on “MENIUPKAN SPIRIT LARVUL NGABAL ORANG KAI DALAM KONSEP PENGURANGAN RESIKO BENCANA

Leave a comment